www.ipm.or.id
MELACAK JEJAK SEJARAH
Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) berdiri 18 Juli 1961, hampir setengah abad
setelah Muhammadiyah berdiri. Namun demikian, latar belakang berdirinya
IPM tidak terlepas kaitannya dengan latar belakang berdirinya
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi mungkar yang
ingin metakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, sekaligus
sebagai salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan
amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Oleh karena
itulah dirasakan perlu hadirnya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai
organisasi para pelajar yang terpanggit kepada misi Muhammadiyah dan
ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung penyempurna perjuangan
Muhammadiyah.
Jika
dilacak jauh ke belakang, sebenarnya upaya para pelajar Muhammadiyah
untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah dimulai jauh
sebelum lkatan Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun
1919 didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar
Muhammadiyah di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun
1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar
Muhammadiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Hizbul Wathan yang di
dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.
Setelah
tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk
beraktivitas mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk
dari Muhammadiyah sendiri. Pada tahun 1950, di Sulawesi (di daerah Wajo)
didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, namun akhirnya dibubarkan oleh
pimpinan Muhammadiyah setempat. Pada tahun 1954, di Yogyakarta berdiri
GKPM yang berumur 2 bulan karena dibubarkan oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya pada tahun 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi
dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (yaitu Majetis Pendidikan dan
Pengajaran Muhammadiyah).
Setelah
GKPM dibubarkan, pada tahun 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang
kemudian merencanakan akan mengadakan musyawarah se-Jawa Tengah. Akan
tetapi, upaya ini mendapat tantangan dari Muhammadiyah, bahkan para
aktifisnya diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah bila tetap
akan meneruskan rencananya. Pada tahun 1957 juga berdiri IPSM (Ikatan
Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, yang juga mendapatkan
resistensi dari Muhammadiyah sendiri.
Resistensi
dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah sendiri, terhadap upaya
mendirikan wadah atau organisasi bagi pelajar Muhammadiyah sebenarnya
merupakan refleksi sejarah dan politik di Indonesia yang terjadi pada
awal gagasan ini digulirkan. Jika merentang sejarah yang lebih luas,
berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan sebuah background politik
ummat Islam secara keseluruhan. Ketika Partai Islam MASYUMI berdiri,
organisasi-organisasi Islam di Indonesia merapatkan sebuah barisan
dengan membuat sebuah deklarasi (yang kemudian terkenal dengan Deklarasi
Panca Cita) yang berisikan tentang satu kesatuan ummat Islam, bahwa
ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu Masyumi; satu gerakan
mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); satu gerakan
pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPll); satu gerakan
pelajar Islam, yaitu Pelajar Islam Indonesia (Pll); dan satu Kepanduan
Islam, yaitu Pandu Islam (PI). Ternyata, kesepakatan bulat
organisasi-organisasi Islam ini tidak dapat bertahan lama, karena pada
tahun 1948 PSll keluar dari Masyumi yang kemudian diikuti oleh NU yang
keluar pada tahun 1952.
Muhammadiyah
tetap bertahan di dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada
tahun 1959. Bertahannya Muhammadiyah dalam Masyumi pada akhirnya menjadi
mainstream yang kuat bahwa
deklarasi Panca Cita hendaknya ditegakkan demi kesatuan ummat Islam
Indonesia. Selain itu, resistensi justru dari Muhammadiyah terhadap
gagasan IPM juga disebabkan adanya anggapan yang merasa cukup dengan
adanya kantong- kantong angkatan muda Muhammadiyah, seperti Pemuda
Muhammadiyah dan Nasyi'atut 'Aisyiyah, yang pada waktu itu cukup bisa
mengakomodasikan kepentingan para pelajar Muhammadiyah.
Dengan
kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu
itu untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar
akhirnya mulai didapat titik-titik terang danmulai muncul gejala-gejala
keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958 Konferensi Pemuda
Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha melindungi aktifitas para pelajar
Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah. Mulai saat itulah
upaya pendirian organisasi pelajar Muhammadiyah dilakukan dengan serius,
intensif, dan sistematis. Pembicaraan- pembicaraan mengenai perlunya
berdiri organisai pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan
Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Berdasar
keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut yang
diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-2 pada tanggal 24-28 Juli
1960 di Yogyakarta, diputuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar
Muhammadiyah (Keputusan ll/No. 4). Keputusan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1.Muktamar Pemuda Muhammadiyah meminta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majetis Pendidikan dan Pengajaran supaya memberi kesempatan dan menyerahkan kompetensi pembentukan IPM kepada PP Pemuda Muhammadiyah.
2.Muktamar Pemuda
Muhammadiyah meng amanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk menyusun
konsepsi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dari pembahasan-pembahasan
Muktamar tersebut, selanjutnya untuk segera dilaksanakan setelah
mencapai kesepakatan pendapat dengan Majetis Pendidikan dan Pengajaran PP Muhammadiyah .
Kata sepakat akhirnya tercapai antara Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majetis Pendidikan dan
Pengajaran tentang pembentukan organisasi pelajar Muhammadiyah.
Kesepakatan tersebut dicapai pada tanggal 15 Juni 1961 yang
ditandatangani bersama antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah MajetisPendidikan dan
Pengajaran. Rencana pendirian IPM tersebut kemudian dimatangkan tagi
dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18 20 Juli
1961. Akhirnya, secara nasional, metalui forum tersebut IPM resmi
berdiri dengan penetapan tanggal 18 Juli 1961 sebagai hari kelahiran
Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Berkembangnya
IPM menghasilkan perluasan jaringan yang bisa menjangkau seluruh
sekolah Muhammadiyah di Indonesia. Pimpinan IPM tingkat ranting
didirikan di setiap sekolah Muhammadiyah. Berdirinya IPM di
sekolah-sekolah Muhammadiyah ini ternyata kemudian menimbulkan
kontradiksi dengan kebijakan pemerintah Orde Baru di dalam UU Keormasan
yang menyatakan, bahwa satu- satunya organisasi pelajar di
sekolah-sekolah yang ada di Indonesia hanyalah Organisasi Siswa
intra-Sekolah (OSIS). Padahal, di sekolah-sekolah
Muhammadiyah
sudah terdapat organisasi pelajar Muhammadiyah, yaitu IPM. Dengan
demikian, ada dualisme organisasi pelajar di sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Dualisme itu menimbulkan ketegangan. IPM harus merubah
namanya untuk tidak menggunakan kata "Pelajar". Dan ketegangan yang
cukup signifikan terjadi ketika Muktamar IPM tahun 1989 yang rencananya
dilangsungkan di Medan batal diselenggarakan dan tidak jelas statusnya
karena tidak mendapat ijin penyelenggaraan dari pemerintah, atas nama UU
Keormasan.
Situasi
tidak menentu bagi eksistensi IPM berlanjut selama kurang lebih tiga
tahun kemudian. Ketidakjelasan status dan eksistensi yang tidak
menguntungkan itu akhirnya mencapai klimaknya pada saat Konferensi
Pimpinan Wilayah IPM tahun 1992 di Yogyakarta, dimana Menteri Pemuda dan
Olahraga saat itu (Akbar Tanjung) berkenan menghadiri Konpiwil secara
khusus dan secara implisit menyampaikan kebijakan pemerintah kepada IPM,
agar IPM melakukan penyesuaian dengan kebijakan pemerintah. Menyikapi
himbauan pemerintah tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat IPM membentuk Tim
Eksistensi yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan ini. Setelah
dilakukan pengkajian intensif, Tim Eksistensi ini merekomendasikan
perubahan nama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja
Muhammadiyah.
Perubahan
ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis dalam sejarah
organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari
pemerintah. Bahkan ada yang menganggap bahwa IPM tidak memiliki jiwa
heroism sebagaimana yang dimiliki oleh Pelajar Islam Indonesia yang
tetap tidak mau mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas
organisasinya dan tidak mau mengganti kata Pelajar dari nama organisasinya, sambil menerima konsekuensi tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah Orde Baru.
Namun,
sesungguhnya perubahan nama tersebut, jika ditimbang-timbang, merupakan
blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Perubahan nama dari IPM ke
IRM sebenarnya berpetuang semakin mempertuas jaringan dan jangkauan
organisasi ini yang tidak hanya menjangkau pelajar, tetapi juga basis
remaja yang lain, seperti kalangan remaja santri, remaja masjid, remaja
kampung, dan lain-lain. Dengan demikian,lRM memiliki jangkauan garapan
yang lebih luas yakni remaja. IRM dengan garapan yang luas tersebut
mempunyai tantangan yang berat karena tanggung jawab moral yang semakin
besar.
Gerakan
IRM dituntut untuk dapat menjawab persoalan-persoalan keremajaan yang
semakin kompleks di tengah dinamika masyarakat yang selatu mengalami
perubahan. Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam SK Pimpinan
Pusat IPM Nomor Vl/PP.lPM/1992, yang selanjutnya disahkan oleh Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada 18 Nopember 1992 metalui SK PP Muhammadiyah
Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/ 1992 tentang pergantian nama Ikatan Pelajar
Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan demikian, secara
resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 Nopember 1992.
Reformasi
yang terjadi di Indonesia tahun 1998 yang berhasil meruntuhkan
pemerintah Orde Baru kemudian mendasari para aktivis IRM untuk
memikirkan perubahan kembali nama organisasi menjadi Ikatan Pelajar
Muhammadiyah. Keinginan untuk mengembalikan nama dari IRM menjadi IPM
muncut pertama kali pada Muktamar XII di Jakarta tahun 2000. Pada setiap
permusyawaratan Muktamar setanjutnya pun, dialektika pengembalian nama
terus bergulir seperti "bola liar" tanpa titik terang. Barulah titik
terang itu sedikit demi sedikit muncul pada Muktamar XV IRM di Medan
tahun 2006. Pada Muktamar kali ini dibentuk "Tim Eksistensi IRM" guna
mengkaji basis massa IRM yang nantinya akan berakibat pada kemungkinan
perubahan nama.
Keputusannya IRM kembali menjadi IPM. PP Muhammadiyah akhirnya mendukung keputusan perubahan nama itu dengan mengeluarkan
SK nomenklatur tentang perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah
menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir
Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2007. Walaupun sudah ada SK
nomenklatur, namun di internal IRM masih mengalami gejotak antara pro
dan kontra atas keputusan perubahan nama tersebut.
Selanjutnya,
Pimpinan Pusat IRM mengadakan konsolidasi dengan seluruh Pimpinan
Wilayah IRM se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk membicarakan
tentang SK nomenklatur. Pada kesempatan itu, hadir PP Muhammadiyah untuk
menjelaskan perihal SK tersebut. Pada akhir sidang, setelah metalui
proses yang cukup panjang, forum memutuskan bahwa IRM akan berganti nama
menjadi IPM, tetapi perubahan nama itu secara resmi dilaksanakan pada
saat Muktamar XVI IRM 2008 di Solo. Konsolidasi gerakan diperkuat lagi
pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IRM di Makassar, 26-29
Januari 2008 (sebelum Muktamar XVI di Solo) untuk menata konstitusi baru
IPM. Maka dari itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28
Oktober 2008 di Solo.
NILAl-NILAl DASAR IPM
1. Nilai Keislaman (Menegakkan dan menjunjung tinggi
nilai-nilai ajaran Islam). Islam yang dimaksud adalah agama rahmatan
til 'alamin yang membawa kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan
ketentraman bagi seluruh umat manusia yang bersumber dari Al- Qur'an dan
as-Sunnah. Artinya, Islam yang dihadirkan oleh IPM adalah Islam yang
sesuai dengan konteks zaman yang selalu berubah-ubah dari satu masa ke
masa selanjutnya.
2.Nilai Keilmuan (Terbentuknya pelajar muslim yang
berilmu). Nilai ini menun-jukkan bahwa IPM memiliki perhatian serius
terhadap ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita akan mengetahui
dunia secara luas, tidak hanya sebagian saja. Karena dari waktu ke
waktu, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan berubah. IPM
berkeyakinan, ilmu pengetahuan adatah jendela dunia.
3.Nilai Kekaderan (Terbentuknya pelajar muslim yang militan dan berakhlak mulia). Sebagaiorganisasi kader, nilai ini menjadi konsekuensi tersendiri bahwa IPM sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mewujudkan kader yang memiliki militansi dalam berjuang. Tetapi militansi itu ditopang dengan nilai-nilai budi pekerti yang mulia.
4.Nilai Kemandirian
(Terbentuknya pelajar muslim yang terampil). Nilai ini ingin mewujudkan
kader-kader IPM yang memiliki jiwa yang independen dan memiliki
ketrampilan pada bidang tertentu (skill) sebagai bentuk kemandirian
personal dan gerakan tanpa tergantung pada pihak lain.
5. Nilai Kemasyarakatan
(Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya/ The Realislamic
Society). Nilai kemasyarakatan dalam gerakan IPM berangkat dari
kesadaran IPM untuk selalu berpihak kepada cita-cita penguatan
masyarakat sipil. Menjadi suatu keniscayaan jika IPM sebagai salah satu
ortom Muhammadiyah menyempurnakan tujuan Muhammadiyah di kalangan pelajar.
JARINGAN STRUKTURAL IPM
Pimpinan
Daerah, Pimpinan Cabang, dan tingkat Ranting. Pimpinan Pusat adalah
kesatuan wilayah-wilayah dalam ruang lingkup nasional. Pimpinan Wilayah
adalah kesatuan daerah-daerah dalam tingkat propinsi. Pimpinan Daerah
adalah kesatuan cabang-cabang dalam tingkat kabupaten/kota. Sedangkan
Pimpinan Cabang adatah kesatuan ranting-ranting dalam satu kecamatan.
Pimpinan Ranting adalah kesatuan anggota-anggota dalam satu sekolah,
desa/kelurahan atau tempat lainnya.
Saat
ini, Ikatan Pelajar Muhammadiyah telah menjangkau seluruh wilayah
Indonesia, dengan 32 Pimpinan Wilayah, 355 Pimpinan Daerah, dan sejumlah
Pimpinan Cabang serta Pimpinan Ranting IPM di semua sekolah
Muhammadiyah tingkat SLTP dan SLTA.
MANIFESTO GERAKAN KRITIS-TRANSFORMATIF
Satu
semboyan yang sangat monumental dalam perjalanan IPM pada tahun 1990'an
awal, Tri-Tertib: "Tertib lbadah, Tertib Belajar dan Tertib
Berorganisasi", adalah ruh gerakan dan merupakan cita-cita dan karakter
khas yang dimiliki oleh setiap anggota IPM. Paradigma pengembangan diri
ini mendapatkan akar pemikirannya pada tradisi developmentalisme yang
melihat sebab-musabab berbagaipermasalahan sosial berasal dari kelemahan
kultural, modal manusia yang lemah, kurang adanya achievement dan
berbagai kekurangan yang dimiliki pelakunya. Pada masa sekarang ini,
paradigm pengembangan diri mengalami stagnasi karena sering tidak
berhasil mengatasi berbagai masalah sosial yang ada.
IPM
menyempurnakan paradigma gerakannya tidak hanya berkutat pada
program-program pengembangan diri tetapi juga memasuki ranah struktur
dan sistem sosial yang berlaku. Di sini IPM menempatkan diri sebagai
Gerakan Kritis- Transformatif. Gerakan Kritis-Transformatif memiliki
tiga pondasi utama: "Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan".
STRATEGI GERAKAN KRITIS TRANSFORMATIF
Strategi
perjuangan merupakan cara praktis bagi IPM untuk melakukan
gerakan-gerakan riil yang sesuai dengan basisnya. Harapannya, strategi
gerakan ini menjadi pintu pembuka agar nilai-nilai yang ada dalam IPM
bisa segera dijalankan oleh para pelajar di tingkat sekolah. Dengan
strategi ini, IPM bisa menanamkan nilai-nilai perjuangannya kepada
parakaderdan anggotanya.
1. Strategi Gerakan Keislaman
IPM
adalah gerakan Islam yang menegakkan nilai-nilai tauhid di muka bumi.
Nilai-nilai tauhid yang telah diperjuangkan oleh para nabi sejak Nabi
Adam A.S. hingga Muhammad SAW. Tauhid yang berisi ajaran amar ma'ruf
(humanisasi dan emansipasi), nahi munkar (liberasi/pembebasan) dan
tu'minuna billah (spiritualisasi). Tiga nilai itulah yang menjadi dasar
bagi IPM untuk menjadikan Islam
sebagai agama yang transformatif, agama yang kritis terhadap realitas
sosial, pro-perubahan, anti-ketidakaditan, anti- penindasan,
anti-pembodohan serta memihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Singkatnya,
itulah yang dinamakan Islam transformatif yang menjadi cara pandang IPM
dalam berjuang dan harus tertanam kuat pada setiap diri kader IPM.
Untuk
mewujudkan IPM menjadi gerakan kritis, maka strategi keislaman yang
harus kita bangun adalah Islam yang dinamis. Internalisasi Islam
transformatif dalam diri kader dan gerakan menjadi syarat muttak.
Semakin kader memahami apa itu Islam transformatif, maka semakin radikal
(mendalam) pula pemahaman mereka dalam merealisasikan gerakan kritis
IPM di ranah perjuangan. Selama kader-kader kita belum memahami apa itu
Islam transformatif, maka selama itu pula gerakan kritis IPM akan
mengalami stagnasi. Karena pemahaman Islam transformative merupakan
dasar bagi terbangunnya ideology gerakan kritis IPM. Untuk membentuk
ideology tersebut diperlukan beberapa tahap:
1) Membangun tradisi pengkajian Islam berparadigmakritis-transformatif.
2)Mendistribusikan wacana Islam transformatif secara massif di internal kader di seluruh struktur.
3)Membuat public sphere
(ruang publik) sebagai forum dialektika pengetahuan, pemahaman, praktek
keberistaman transformatif antar- kader baik dalam bentuk pengajian,
diskusi rutin, atau di ruang maya (internet).
2. Strategi Gerakan Kader
IPM
adalah gerakan kader. Maka kaderisasi nerupakan tugas utama IPM dan
juga sebagai media internalisasi nilai-nilai gerakan pada setiap kader.
Tanpa adanya kaderisasi, maka menjadi faktor utama lemahnya gerakan.
Dengan adanya kaderisasi yang disiplin, sistematik, dan berorientasi
futuristik diharapkan mampu menjawab tantangan zaman yang semakin
kompleks. Dalam kaderisasi yang ideal inilah nilai-nilai Islam
kritis-transformatif dapat terus ditanamkan. Untukmerealisasikan tujuan
ideal di atas maka dibutuhkan strategi gerakan, yaitu:
1) Disiplin menerapkan pengkaderan dalam setiap tingkatan.
2) Memperbanyak aktivitas-aktivitas perkaderan, baik bersifat formal maupun informal.
3)Melakukan pendampingan intensif terhadap kader-kader.
3. Strategi Gerakan Intelektual
Karakter intelektual mempunyai ciri berfikir dan bertindak secara ilmu-iman-amal, iman-ilmu- amal, amal-ilmu-amal secara dialektis. Tidak
meman-dang remeh salah satu di antara ketiga dimensi tersebut
(ilmu-iman-amal), tetapi memandang ketiganya sebagai satu kesatuan yang
saling melengkapi dan harus dimiliki oleh setiap kader. Kader yang mampu
mendialektikakan ketiga dimensi itu dalam ranah perjuangan dapat kita
sebut sebagai intelek-tual kritistransformatif. Yaitu kader yang bukan
hanya pandai berteori atau shaleh ritual atau melakukan kerja-kerja
teknis organisatoris saja, tapi kader yang mempunyai wacana pemikiran
radikal (mendalam), juga shaleh sosial dan partisipasi aktif mewujudkan
perubahan sosial. Kader-kader yang mem-punyai ciri-ciri seperti inilah
yang nantinya mampu menjadi pelopor gerakan kritistransformatif. Untuk
mewujudkan kader yang mempunyai cirri intelektual kritis-transformatif,
maka IPM memerlukan sebuah strategi intelektual. Strategi intelektual
ini dapat kita wujudkan dengan berbagai cara, antara lain:
1) Mentradisikan membaca sebagai aktivitas wajib kader.
2)Melatih berfikir filosofis atau radikal (mendalam).
3)Menulis sebagai media untuk menuangkan ide- ide yang ada di dalam pikiran.
4)Membuat ruang dialektika, diskusi, dan sharing sebagai media bertatih berfikir dan bertindak kritis.
5)Merealisaikan
pemikiran dalam sebuah tindakan serta merefleksikannya sebagai langkah
untuk menteorisasikan kembali pengalaman-pengalaman tapangan yang
diperolehnya.
Dengan
menerjemahkan strategi itu, maka niscaya tradisi intelektual kritis di
lingkungan IPM akan terbangun. Tradisi intelektual kritis inilah yang
akan mempercepat terwujudnya pelajar yang cinta akan ilmu.
4.StrategiGerakan Budaya
Sebagai
gerakan pelajar, IPM pun harus mampu membangun tradisi kebudayaan yang
kritis- transformatif. Budaya kritis-transformatif adalah budaya
yang disemangati oleh nilai-nilai amar ma'ruf, nahi munkar, dan
tu'minuna billah. Budaya terbentuk dari tiga unsur; 1) Sistem ide,
gagasan, dan pemikiran 2) Sistem tindakan dan 3) Sistem artefak.
Ketiga
unsur itu merupakan satu kesatuan dan kesatuan itu harus
merepresentasikan nilai- nilai transformatif. Seni merupakan jenis
budaya yang cukup strategis untuk dikembangkan di kalangan pelajar serta
dijadikan sebagai alat perjuangan bagi IPM. Seni yang mampu membangun
kritisme terhadap realitas sosial, menyuarakan kepedihan penindasan dan
ketidakadilan, membangun semangat perlawan terhadap kedhaliman serta
seni yang mampu menghadirkan Tuhan yang berjuang bersama untuk
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai seni tersebut dapat
diwujudkan dalam bentuk karya lagu, puisi, cerpen, novel, drama, teater,
lukisan, poster, kaos, karikatur, monolog dan sebagainya yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Untuk
mewujudkankan seni yang kritis dibutuhkan kader-kader yang secara
serius mengelutinya. Mereka inilah yang nantinya bertanggungjawab
membangun counter culture terhadap hegemoni budaya kapitalis.
Membuat
genre baru tentang kebudayaan yang kritis. Tapi yang menjadi perhatian
kita adalah, bahwa selama ini kita belum mampu memproduksi artefak-
artefak seni budaya yang dikenal dan cukup mempengaruhi masyarakat atau
bahkan gerakan kita sendiri. Karena itu, strategi budaya yang dapat kita
lakukan adatah:
1. Membangun komunitas seni-budaya yang bernuansa kritis.
2. Memproduksi
artefak-artefak seni danbudaya dalam berbagai hat (lagu, puisi, cerpen,
karikatur, lukisan, kaos, poster, pin, sticker, dit.) yang isinya
bermuatan nilai-nilai kritis.
3. Mendistribusikan bentuk-bentuk seni dan budaya lokal secara massif di kalangan pelajar.
4. Apresiasi terhadap artefak-artefak tersebut baik untuk kader-kader kita maupun orang lain.
5. Strategi Gerakan Kewirausahaan
-Salah satu bentuk dari
kemandirian gerakan IPM adatah adanya keteramplian pada bidang tertentu.
Hal ini sebagai bekal kader IPM ke depan maupun organisasi IPM itu
sendiri. Dengan bekal kemandirian inilah, IPM mampu mencetak kader yang
memiliki bekal mandiri di hidupnya yang akan datang.
Kemandirian
itu diwujudkan datam bidang kewirausahaan. Kita masih ingat, kelahiran
Muhammadiyah karena para pedagang yang sukses. KHA Dahlan pun seorang
pedang. Karena itu, sejak di bangku sekolah, IPM harus mencetak para
kader yang memiliki kemandirian dalam hidup. Karena itu, ada beberapa
strategi yang harus dicapai dalam strategi gerakan kewirausahaan ini:
1) Menghidupkan dan menumbuhkembangkan koperasi sekolah yang dikelota oleh siswa/ IPM ranting sekolah.
2) Mengadakan forum-forum diskusi tentang dunía kewirausahaan sebagai bekal dan modal dalam berusaha di masa yang akan datang.
3) Melakukan
kunjungan-kunjungan ke pusat- pusat pemberdayaan ekonomi, agar para
siswa mampu belajar kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Strategi Gerakan Kemasyarakatan
Sebagai
salah satu gerakan sosial, IPM bercita-cita mengangkat harkat dan
martabat manusia (khususnya pelajar) dalam kondisi yang lebih manusiawi,
adil, damai, dan sejahtera. Apabila ada dehumanisasi, ketidakaditan,
diskriminasi, penindasan, dan pembodohan IRM akan bersuara lantang dan
maju ke depan untuk melakukan perubahan, baik itu dengan penyadaran,
pendampingan, pemberdayaan, maupun perlawanan. Realitas kedhaliman di
bumi ini semakin hari semakin canggih dan tidak kita sadari
kehadirannya. Karena itu, IPM harus kritis dalam membaca segala bentuk
kedhaliman dalam realitas ini. Bagaimana agar IPM kritis terhadap
realitas?
1)Terlibat aktif bersama rakyat dalam pergulatan sosial untuk menemukan problem sosial.
2)Mampu membaca dan mengenali stakeholders (pihak-pihak yang terkait dalam masyarakat) sehingga IPM bisa memetakan posisinya.
3) Dapat menjelaskan
bagaimana relasi/hubungan yang terjadi dalam stakeholders dan realitas
sosial tersebut, apakah ada yang dirugikan atau ada yang untungkan? Ada
yang ditindas-ada yang menindas? Kalau relasi timpang itu terjadi apa yang harus dilakukan IPM?
4) Melakukan pendidikan
politik bagi pelajar secara massif, khususnya tentang apa itu negara,
apa tujuannya, serta relasinya dengan rakyat dalam perbincangan politik.
5) Merespon wacana-wacana politik kontemporer dalam perspektif politik advokatif.
6) Melakukan aksi-aksiadvokatif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat
AGENDA AKSI
Agenda
aksi merupakan bentuk kegiatan konkrit dari strategi yang telah
dijelaskan di atas. Agenda aksi bisa dipahami sebagai produk rill dari
kegiatan IPM.
1. Pengajian Islam Rutin (PIR)
Pengajian
Islam Rutin atau disingkat PIR merupakan kegiatan rutin tentang dunia
Islam dan yang terkait dengannya yang diadakan oleh pengurus IPM
Ranting. Kegiatan ini diadakan sebagai penguatan nilai-nilai keislaman
yang berwawasan rahmatan til alamin di kalangan pelajar.
Tujuan
PIR adalah mewujudkan pribadi-pribadi kader Muhammadiyah yang militan
di kalangan pelajar sehingga memiliki wawasan keislaman yang rahmatan
til 'alamin serta manyambung silaturahmi di antara para pelajar dan
guru.
2. Sekolah Kader
Sekolah
Kader merupakan suatu proses pendidikan yang disusun secara terpadu
meliputi penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan terhadap kader IPM.
Berlangsung dalam jangka waktu tertentu setelah perkaderan formal
tingkat muda (TM 11). Untuk alumni TM 111 dan TM Utama tidak ada karena,
diharapkan langsung mampu berkiprah dalam kancah yang lebih luas.
Alasan lain adalah, karena letak geografis yang cukup luas sehingga bisa
mengakibatkan ketidakefektifan kegiatan. Selain itu, jika alumni TM I
dan TM || masih "dipikirkan", maka alumni TM lll dan TM Utama harus
sudah "memikirkan".
Tujuan
Sekolah Kader adalah terbentuknya kader pelopor-ideologis yang memiliki
komitmen dan loyalitas tinggi terhadap ikatan, berwawasan luas,
berlandaskan akidah Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta mampu menjadi inti
penggerak organisasi dan pelangsung tongkat estafeta kepemimpinan IRM demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
3. Gerakan Iqra
Gerakan
Iqra adalah gerakan pembudayaan tradisi membaca dan menulis kepada
kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah di seluruh tingkatan. Tujuan gerakan
Iqra adalah: 1). Mewujudkan tradisi membaca dan menulis di tubuh ikatan;
2). Mencipkan ruang khusus untuk melakukan diskursus wacana-wacana
kontemporer; 3). Mewujudkan kader IPM yang peka dan kritis terhadap
realitas; 4). Mewadahi minat dan potensi kader untuk megasah dan
mengembangkan IPTEK.
4. Gerakan Budaya Tanding
Gerakan
budaya tanding merupakan proses stimulasi kesadaran kritis pelajar
dalam menanggapi hegemoni budaya kapitalis-industri media. Gerakan
kebudayaan IPM mengarahkan pelajar pada penolakan terhadap bentuk-bentuk
budaya konsumtif yang diintroduksikan metalui media-media massa. Media
massa sebagai instrumen kebudayaan harus ditanggapi secara kritis karena
perannya dalam penanaman nilai-nilai yang akan berimplikasi pada bentuk
atau artefak budaya yang dipraktikkan pelajar. Budaya sendiri merupakan
struktur yang kompleks dengan mencakup 3 unsur; 1) sistem ide, gagasan. 2) Sistem tindakan. 3) sistem artefak atau bendawi.
Sementara,
gagasan budaya dipandang dalam dua persepsi umum, yakni; pertama,
Kebudayaan sebagai hasil cipta rasa dan karsa yanga memiliki estetika
dan intelektualitas. Kedua, Kebudayaan merupakan rangkaian
perilaku/praktik hidup sehari-hari (realisme sosial) Gerakan budaya
tanding IPM berangkat dari problem realitas pelajar yang banyak
terpengaruh dari budaya-budaya pop sebagai implikasi dari globalisasi
dan teknologi komunikasi. Sehingga, IPM berkewajiban untuk melakukan
perlawanan terhadap berbagai bentuk hegemoni yang mampu mereduksi
identitas kebangsaan pelajar, baik artefak budayanya maupun corak pikir
yang berimplikasi pada perilaku konsumerisme, perilaku kebarat-baratan,
maupun kesadaran kritis yang merosot.
Tujuan gerakan budaya
tanding adatah: 1). Menciptakan ruang khusus bagi kader untuk melakukan
elaborasi wacana budaya pop. 2). Mewujudkan kader IPM yang peka terhadap
hegemoni budaya global me-lalui industri media. 3). Mewadahi kader
ikatan yang berkonsentrasi pada kajian budaya dalam Tanfidz Muktamar XVI IRM 20 mengampanyekan gerakan kearifan lokal sebagai sintesis atas budaya global metalui industri media.
5. Gerakan Kewirausahaan
Kewirausahaan
merupakan spirit kemandirian pelajar Muhammadiyah yang harus kita kawal
bersama, mengingat kondisi pelajar yang semakin menggantungkan
keberlangsungan hidup organisasi (IPM) kepada pihak lain. Hal ini secara
berkesinambungan harus
dihilangkan pada setiap level pimpinan selain itu spirit kemandirian
adalah mental kebangkitan pelajar baru untuk Indonesia yang berkemajuan.
Kewirausahaan
diprogramkan secara massif sehingga inti dan warna kemandirian terlihat
pada level pimpinan ranting yang merupakan trend setter pelajar yang
mandiri dan eksis dan merupakan bentuk kelompok sosial elit. Gerakan
kewirausahaan wajib disyiarkan secara akbar dan bersama. Gerakan
kewirausahaan bermuara pada pelajar untuk memotivasi jiwa kemandirian
pelajar (Ranting) serta mampu melepaskan diri dari ketergantungan bentuk
pendanaan praktis.
Tujuan
gerakan kewirausahaan: 1).Terwujudnya pelajar yang bermental mandiri
dan memiliki spirit perubahan; 2). Memberikan modal keilmuan mengenai
enterpreneurship; 3). Pengembangan kegiatan inovatif yang berorientasi
pada kemandirian wirausaha pelajar.
6. Gerakan Advokasi Pelajar
Pelajar
sebagai bagian dari warga Negara dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara relative termarginalkan, sedikit banyak hanya sebagai korban
(objek) kebijakan kekuasaan yang tidak pro pelajar. Meskipun hak-hak
pelajar sebagai warga negara sudah dijamin oleh undang-undang, namun
dalam prakteknya,
pelajar masih ditempatkan sebagai objek pendidikan. Sehingga tak jarang
kita melihat pelajar selalu ditindas dengan berbagai tugas, beban biaya
yang tinggi dan model komunikasi yang tidak humanis. Dari berbagai
fenomena yang muncul seperti tersebut di atas, maka IPM perlu memberikan
sumbangsih terhadap persoalan pendidikan terutama persoalan kepelajaran
dalam bentuk pengakomodirian aspirasi dan pembelaan hak-hak pelajar
(advokasi pelajar).Gerakan advokasi pelajar adatah gerakan pelajar untuk
menjaring aspirasi dan pembelaan hak-hak pelajar menuju pelajar yang
berdaulat.
Tujuan
dari gerakan advokasi pelajar adalah: 1). Memperjuangkan aspirasi
pelajar; 2). Menjaring aspirasi pelajar dan terlibat aktif dalam proses
pembuatan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah, parlemen, dan
masyarakat. 3). Memperjuangkan hak-hak Pelajar; 4). Menjadikan pelajar
berani dalam mengeluarkan pendapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar